Beranda | Artikel
Hukum Dokter Mematikan Pasien Dengan Euthanasia
Selasa, 7 Mei 2013

“dokt, kasihan ayah saya, dia sudah tidak tahan sakit karena kanker ganas kronis, teriak-teriak setiap hari. Kita euthanasia saja dokt, supaya dia tenang di alam sana”

“dokter, saya sudah tidak tahan, saya sudah lama berobat, tidak ada hasil, badan saya sudah lumpuh karena komplikasi stroke, saya mau euthanasia saja dokt, tolong bius saya dan matikan saya ketika dibius total”

 

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu (baik) dan thanatos (kematian).  Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

Euthanasia ada dua jenis:

1.pasif

Misalnya mencabut alat resusitasi pada pasien di ICU dalam hitungan menit maka pasien akan mati. Mengenai hal ini silahkan baca artikel:

 Hukum Mencabut Alat Resusitasi Pada Pasien kritis di ICU

2.aktif

Misalnya memberikan suntikan antinyeri dosis tinggi yang bisa meredakan nyeri sekaligus menghentikan pernapasan atau dilakukan bius total terlebih dahulu baru disuntikan obat tersebut.

 

Hukum euthanasia aktif dalam Islam

Hukumnya HARAM dalam Islam karena termasuk pembunuhan sengaja (القتل العمد) “al-qatlu al-‘amad, walaupun dengan niat yang baik, yaitu untuk meringankan penderitaan pasien, meskipun juga atas permintaan keluarga atau pasien sendiri.

Larangan agar kita membunuh jiwa orang lain tanpa sebab syar’i dalilnya sangat jelas.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” ( Al-An’aam : 151)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (An-Nisaa` : 92)

 

Al-Buhuti rahimahullah berkata,

ولا يجوز قتلها ، أي : البهيمة ، ولا ذبحها للإراحة ، لأنها مال ، ما دامت حية , وذبحها إتلاف لها ، وقد نهي عن إتلاف المال ، كالآدمي المتألم بالأمراض الصعبة أو المصلوب بنحو حديد ؛ لأنه معصوم مادام حيا

“tidak boleh membunuhnya, yaitu hewan ternak (yang sakit), tidak boleh juga menyembelihnya untuk mengistirahatkannya (dari rasa sakit), karena ia adalah harta selama ia masih hidup dan menyembelihnya merupakan membuang-buang harta. Kita dilarang menyia-nyiakan harta.

Sebagaimana manusia yang merasa sakit karena penyakit yang parah (dilarang dibunuh juga) atau orang yang disalib (dipercepat dibunuh), karena mereka masih terjaga darahnya (jiwanya).”[1]

 

Tidak boleh juga jika di minta oleh pasien sendiri

Karena termasuk bunuh diri. Allah melarangnya dalam Ayat,

وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisaa` : 29).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ في الدُّنْيا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيامَةِ

Siapa yang membunuh dirinya dengan cara tertentu di dunia maka dia akan disiksa pada hari kiamat dengan cara yang sama.”[2]

Beliau juga bersabda,

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ في نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ في يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فيها أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَديدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَجَأُ بِها في بَطْنِهِ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا

Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang menegak racun sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya di neraka jahanam, kekal selamanya.”[3]

 

Penderitaan sebagai penghapus dosa

Perlu diketahui bahwa rasa sakit yang mengantarkan kematiannya bisa jadi penghapus dosanya. Sehingga ketika ia meninggal, ia menghadap Rabb-nya tanpa dosa sama sekali.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ

“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya “[4]

Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ، حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.”[5]

 

Dokter dan keluarga yang menyuruh diqhisas jika melakukannya

Karena ia telah membunuh, begitu juga dengan keluarga yang memerintahkan euthanasia.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih .” (Al-Baqarah : 178)

 

Demikian semoga bermanfaat

wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

 

@FK UGM, 26 Jumadis Tani 1434 H

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB dan follow twitter

 


[1] Kasyyaful Qanna’ 5/495

[2]  HR. Ahmad 16041 dan Muslim 164

[3]  HR. Bukhari 5778 dan Muslim 109

[4] HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 651

[5] HR. Muslim no. 2572


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/hukum-dokter-mematikan-pasien-dengan-euthanasia.html